Rabu, 22 Februari 2017

Sensasionalnya Kampus Fiksi Emas 2014



Sensasionalnya KF EMAS 2014

Kamis, 12 Juni 2014
            KAMPUS FIKSI!!! PASTI BISA!!!                         
            Akhirnya, setelah berupaya sekuat tenaga, aku bisa kembali menjadi peserta event Kampus Fiksi yang mulai diselenggarakan dari tanggal 27 April 2013—Kampus Fiksi angkatan 1 yang juga menjadi awal keikutsertaanku dalam event ini. Aku masuk menjadi salah satu nominator angkatan Kampus Fiksi Emas 2014! Dari 145 orang alumni Kampus Fiksi angkatan 1-5, hanya dipilih 20 orang saja. Ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri untukku.
            Acara akan dimulai mulai besok, namun kami—para peserta—diharapkan sudah datang sehari sebelum acara. Dan aku datang sekitar jam 18.00. Sudah cukup banyak yang datang di asrama. Pertama yang kutemui adalah Nadine serta Mas Adit yang tengah duduk di dapur. Lalu di ruang meeting, sudah ada Mas Reza, Mbak Lia, Dhamala, Evi Sudarwanto, Mbak Ghyna, Farrah, Mbak Dian Iriana, serta Asmira Fhea.
Hei, tapi tunggu dulu, rasanya mataku mulai menipuku. Aku melihat Mbak Didi—panggilan akrab Dian Iriana, ada dua! Tapi ternyata, yang satu adalah Fia—Asmira Fhea—yang baru kusadari mirip Mbak Didi. Aku sempat loading sebentar saat menyalami Fia. Haha, apakah hanya aku saja yang menganggap mereka mirip?

            Tak lama setelah itu, datang Mufi, kemudian disusul Mas Sayful, Mbak Nurul (Andari Hersoe), serta Kak Rosanti (aku lebih suka menyebutnya Kak Ros, seperti panggilan dalam kartun Upin Ipin). 

            Ini di kamar cewek. Eksis dulu, ah! :D

Dan baru kuketahui, kalau Mbak Reni (Avanna Zahra) tidak bisa datang karena sakit. Sayang sekali. L
            Oiya, kami, peserta Kampus Fiksi Emas, dibagikan souvenir cantik loh. Ada buku antologi Gadis 360 Hari yang Lalu, kaos bersablonkan tulisan yang sama dengan judul buku, tas bertuliskan Kampus Fiksi, pulpen, serta notes.

            Buku antologi Gadis 360 Hari yang Llau, kaos, tas, pulpen, dan notes.

            Pak Edi, selaku rektor Kampus Fiksi datang malam itu untuk sekadar berbincang-bincang ringan dengan kami. Dengan Farrah yang masih menyantap empek-empek oleh-oleh dari Evi dan Nadine yang berhasil digorengnya dengan lahap. Sepertinya Farrah sangat lapar.
            Tak sabar rasanya menunggu hari esok. Menunggu saat karya kami diadili oleh para mentor!

Jum’at, 13 Juni 2014
            Antrian mandi yang panjang. Haha, seharusnya takkan panjang kalau saja aku dan beberapa teman lainnya mandi lebih awal. Ini sudah jam setengah tujuh, namun ada beberapa yang belum mandi, termasuk aku! Karena sebelumnya, aku keasyikan mengobrol dengan Mbak Elisa dan Mbak Indah yang baru datang pagi tadi sebelum subuh. Mbak Pia dan Mas Ersa yang datang pagi tadi pun masih tepar di kasur MU dengan lelapnya.
            Akhirnya, tiba giliranku untuk mandi. Begitu selesai, lalu sarapan, kemudian sedikit bermain ABC lima dasar—permainan konyol namun menarik. Kami tertawa-tawa saat mendapat tantangan untuk melakukan hukuman akibat terlalu lama dalam menjawab. Dan aku, adalah orang yang paling banyak terkena hukuman. Mulai dari disuruh menyanyi, ngrayu cowok, push up, sampai mencabut satu batang rambut milik teman. Haha, adaaa saja hukumannya.
            Jam 8.00 acara dimulai dengan sambutan dari Pak Edi. Betapa bangganya beliau menjelaskan tentang bagaimana kami yang telah berhasil terpilih menjadi peserta Kampus Fiksi Emas ini. Beliau mengatakan—seperti yang disebutkan dalam buku antologi Gadis 360 Hari yang Lalu, “Kalian semua adalah para alumni yang akan terus diikuti jejaknya oleh alumni-alumni angkatan berikutnya. Kalian adalah kakak-kakak dari adik-adik kalian nantinya. Terbanglah setinggi kalian bisa, tapi jangan lupa, #KampusFiksi selalu terbuka jika kalian rindu bertemu kami dan lelah mengarungi langit sana.”

            Sebuah pengantar dari Pak Edi yang membuat kami terharu.

            Jam 9.00 kami praktek menulis cerpen dengan tema yang berbeda-beda untuk setiap orang. Kami hanya diberi waktu selama dua setengah jam! 

            Praktek menulis cerpen.

            Jam 11.30 telah banyak yang telah selesai menulis, begitu juga denganku. Setelah diserahkan kepada tim mentor, kami boleh istirahat. Dan…. ternyata cerpen kami itu langsung di-posting di web Kampus Fiksi! Haha, apakah cerpenku itu masih ada typo-nya? Jangan salahkan, karena aku—mungkin juga teman-teman lain, menulis tanpa diedit!
            Para lelaki berangkat untuk Jumatan, sedangkan para wanita (ciyeee, wanita!) ada yang makan siang, sholat, atapun tidur. Ada pula yang deg-degan, karena setelah istirahat ini, karya cerpen Kampus Fiksi Emas yang tertulis di buku antologi ini akan diadili. Seperti pengadilan saja ya? Memang!
            Jam 13.00, saatnya pengadilan karya.
            Karya pertama yang diadili adalah milik Mas Ersa, kemudian Mas Reza, lalu Mas Adit. Mbak Ita-lah yang seolah menjadi hakim. Suasana memanas saat pernyataan-pernyataan Mbak Ita disangkal oleh Mas Reza.
            Dan semakin memanas saat giliran cerpen Farrah, Dhamala, dan milikku diadili. Kali ini benar-benar panas! Bukan karena kami banyak menyangkal, bukan pula karena cerpen kami yang terbaik, tapi karena…. mati lampu! Ya, saat Mbak Misni selaku hakim akan mengadili cerpen milik Farrah, tiba-tiba lampu mati. Waaahh, udah deh, langsung buka pintu, gorden, dan jendela. Lampu-lampu emergency pun dihidupkan. Tapi, bukannya sejuk yang kami dapatkan karena pintu yang dibuka—karena ruangannya ber-AC—namun malah gerah, dan lampu itulah penyebabnya. Akhirnya, kami selaku tersangka (aduh, tersangka maling ayam kali ya? LOL!) kembali diadili tanpa mempedulikan lampu yang mati.
            Pengadilan karya masih berlanjut dengan hakim yaitu Mbak Ve, yang mengadili cerpen milik Mbak Lia, Mbak Nurul, dan Mbak Elisa. Dan masih dengan listrik yang belum menyala. Namun tak begitu panas seperti tadi, karena Mbak Ve mengadilinya dengan ekspresi wajah dan tingkah laku yang sangat konyol. Cukup berlebihan, namun tetap… absurd! Hahaaa, Mbak Ve, aku juga mau diadili kalau seperti itu gayanya. :D
            Jam 16.15 kami ishoma. Seharusnya sih, ishoma jam 16.00, tapi karena Mbak Ve terlalu menggebu, jadilah kami terlambat lima belas menit. Tak apa, Mbak Ve, kami senang kok, karena listrik sudah menyala kembali. Alhamdulillah…
            Setelah semuanya siap, jam 19.00 kembali karya kami diadili. Mbak Rina dengan gayanya yang keren mengadili karya milik Mbak Ghyna, Kak Ros, Fia, dan Mbak Pia. Suasana menegang saat itu, karena Mbak Rina terlihat serius.
            Suasana mencair saat giliran Mbak Ayun yang mengisi. Karya Evi, Mbak Didi, dan Nadine sudah siap untuk diadili.
            Dan… sebagai penutup hari itu, Pak Edi memberikan peradilan terhadap karya Mufi, Mbak Indah, dan Mas Sayful. Pak Edi lain daripada yang lain. Beliau tak hanya mengkritik, namun juga memberi saran terhadap karya diadilinya.
            Jam 22.15, selesailah acara di hari pertama Kampus Fiksi Emas. Kami beristirahat, menyiapkan diri untuk besok Sabtu. Ada yang langsung tidur, ada pula yang sibuk mendiskusikan yel-yel dan performance yang akan kami tampilkan besok.

Sabtu, 14 Juni 2014
            Pagi ini, kami harus mengikuti pembedahan novel Sang Alkemis-Paulo Ceolho yang mendatangkan seorang akademis UGM bernama Tia Setiadi sebagai pembedah.
            Aku tak ingin terlalu banyak mengulas tentangnya, oke?
Aku hanya menyukai caranya bercerita, runut dan semangatnya itu membuat kami—terutama aku—ikut bersemangat. Begitu rinci dia menjelaskan tentang isi novel itu. Tentang bahasanya, tokoh, setting, latar, dan lain sebagainya.
Namun, ada satu yang aku tidak setuju pada pendapatnya. Dia berkata kalau seorang penulis itu sebaiknya menulis dengan latar setting yang seharusnya dikuasai, supaya penulis bisa mendeskripsikan tempat dengan begitu baik. Dikatakannya juga bahwa seorang penulis yang tinggal di dekat laut, sebaiknya menulis dengan latar di laut. Begitu juga bila tinggal di gunung, pedesaan, ataupun perkotaan. Karena kalau tidak, pastilah penulis itu mengada-ada, begitu ungkapnya.
Tapi, bukankah seorang penulis itu bisa mendeskripsikan latar tempat tanpa harus tinggal di tempat itu? Tak harus pula penulis itu harus datang ke tempat itu. Bukankah sudah ada fasilitas internet? Kita bisa riset lewat google, bukan?
Sudah, itu saja yang ingin kuulas tentangnya. Karena… jam 12.30 kita akan ke Kaliurang! Yeay!!
Kami membereskan perlengkapan yang akan kami bawa ke Kaliurang, sebuah desa wisata yang sejuk. Kami akan menginap di villa!
Jengg!! Jengg!!! Jam 12.30, saatnya berangkat!!
* * *
            Perjalanan menuju Kaliurang membutuhkan waktu yang lumayan, 45 menit. Dengan tiga mobil yang mengangkut kami—para peserta, serta satu mobil box yang mengangkut tas-tas kami, akhirnya sampai juga di sana.
            Dan, hey, kalian tahu, apa yang kami lakukan begitu sampai villa??
            Main ayunan dulu sebelum masuk villa. :D

            Beberapa bukannya masuk villa, tapi malah bermain ayunan! Mengayunkannya tinggi-tinggi, sampai rasa bosan mendera. Haha, kurasa masa kecil kami kurang berbahagia! Tapi, ini benar-benar seru. Sangat!
            Setelah lelah, barulah aku masuk villa. Mencari teman satu kelompok untuk kembali mendiskusikan performance untuk nanti malam.
            Kelompokku itu terdiri dari Mufi, Mbak Nurul, Mbak Pia, Mas Adit, dan tentu saja, aku sendiri. Heboh sekali kami mempraktekkan yel-yel serta performance untuk nanti malam.
Ah, rasanya sudah tak sabar menanti nanti malam.
* * *
            Sebelum memulai gathering, kami sholat Maghrib dan Isya berjamaah dengan diimami oleh Pak Edi. Makan malam pun bersama Pak Edi sekeluarga serta para panitia. Sangat terasa rasa kekeluargaan yang mendalam. Semua berbaur, tanpa membedakan siapa dan dari mana kami berasal.

Karena kelompokku adalah kelompok 3, jadilah kami menonton aksi dari dua kelompok di depan kami. Sepanjang acara, suara tawa membahana memenuhi ruangan villa. Rasa geli menggelitik kami saat menyaksikan performance yang ditunjukkan tiap kelompok.


Dan saat kelompokku perform pun, aku, Mufi, Mbak Pia, dan Mbak Nurul tak sanggup menahan tawa saat melihat Mas Adit berpenampilan seperti setan dengan mukena yang menutupi seluruh tubuhnya dan berakting seperti setan konyol.
Belum lagi dengan kelompoknya Mas Sayful, yang terdiri dari Evi, Mbak Ghyna, Fia, Mbak Didi, dan dia sendiri. Mereka menceritakan tentang diary si kembar, yang diperankan oleh Fia dan Mbak Didi. Nah, kan! Berarti bukan aku saja yang menganggap mereka mirip! Dan Evi, yang menjadi host acara talkshow itu pun berubah. Dia menjadi panaaass, sensasional, menggelitik, dan fenomenal! Hahahaaa, tawa kami pecah setiap kali Evi mengucapkan kalimat andalannya: panas, sensasional, menggelitik, dan fenomenal.

Taraaa!!! Performance dari peserta selesai, dan saatnya penampilan dari panitia! Mas Wahyu, Mbak Ayun, Mbak Ve, Mbak Rina, Mbak Misni pun beraksi! Kereeen deh penampilan mereka!
.
Setelah performance habis sudah, Pak Edi memberikan penghargaan kepada pemenang cerpen Kampus Fiksi Emas, yaitu Mas Sayful. Selain mendapat uang—tapi masih dalam bentuk tulisan—Mas Sayful mendapatkan piagam! Wow! Selamat, Mas Sayful!

Dan…. tarakdungces! *eh* Ada penghargaan spesial kepada peserta militan yang selalu datang saat Kampus Fiksi! Ini kejutan! Mas Reza-lah yang mendapatkan penghargaan itu. Selamaaatt! :D

Uwaaa!! Begitu pemberian penghargaan, kami keluar ruangan. Kami mau membakar jagung! Dan api unggun mulai dihidupkan! Kita pesta!!

Api unggun telah menyala!

Sambil menanti jagung bakar matang, kami bermain Truth or Dare yang diselipkan di setiap kado silang yang memang kami bawa untuk saling ditukarkan.

Setiap pertanyaan ataupun tantangannya pun beragam. Mulai dari hal serius, sampai hal konyol sekalipun. Ada yang disuruh nyanyi sambil goyang itik, ada yang lebih memilih menceritakan pengalaman pahitnya saat jatuh cinta daripada menyatakan cintanya pada salah satu panitia, ada pula yang disuruh mengatakan ‘I LOVE YOU’ pada Pak Edi! Hahaha…. Sungguh malam yang sangat menyenangkan! Dengan bulan purnama dan jagung bakar yang nikmat, kami menikmati malam yang tersisa. Bermain ayunan, menyanyi bersama… ah, rasanya, enggan menyebut esok adalah hari terakhir kami bisa seperti ini.

Mereka yang bernyanyi bersama setelah api unggun telah padam.


Minggu, 14 Juni 2014
            Pagiii, Kaliurang!
            Dingin nan sejuk menyapa kulit kami ketika bangun di pagi hari. Masih jam 5.15. Kurasa, aku adalah peserta yang bangun pertama kali—jangan tanya kalau panitia, mereka sudah bangun lebih dulu.
            Air dingin di bak mandi membuatku enggan untuk mandi. Hehe, karena kami mau outbond, aku memilih untuk mandi nanti setelah outbond. Aku hanya membersihkan muka dan gigi, tanpa mandi. Dan ternyataaa, banyak juga yang tidak mandi. Hahaha…
            Sebelum kami berangkat untuk outbond, kami sarapan terlebih dulu.
            Dan… SIAP! Kami telah siap melakukan outbond!

            Dengan rute yang seperti naik-naik ke puncak gunung, kami berjalan kaki menuju tempat yang aku sendiri tak tahu namanya. #keplakdirisendiri


            Cukup lelah kami berjalan, sedikit berkeringat juga. Namun, tetap… menyenangkan! Karena sepanjang jalan kami bercanda, tertawa, melihat landskap indah di sana-sini dengan udara yang begitu segar.

            Sampai di dekat seperti hutan pinus itu kami berhenti. Mengistirahatkan badan. Dan ternyataaa…. Sebentar lagi kami naik jeep! Kami akan melakukan ekspedisi rahasia!
Jeep sudah berjejer, siap membawa kami bertualang.

            Satu jeep dinaiki lima orang, termasuk sopir. Betapa hebohnya kami. Bukan heboh karena baru pertama kali naik jeep, bukan. Tapi, heboh bereksis ria. Jepret sana, jepret sini.


            Dan… perjalanan kami dimulai! Kami melewati berbagai kelokan dengan jalanan yang tidak rata. Banyak batu-batu besar menghalangi jalan. Jalanan begitu terjal, memacu adrenalin kami. Kami naik ke gunung! Yaa, Gunung Merapi.

            Tempat pertama yang kami tuju adalah Museum Sisa Hartaku. Di sana adalah sebuah rumah milik seorang penduduk yang terkena awan panas Gunung Merapi 5 November 2010. 

            Di pintu masuk Museum Sisa Hartaku.

            Pesan Merapi.

            Kerangka sapi yang tersisa.'

            Peralatan masak yang tersisa.

            Alat musik yang tersisa.

            Sisa-sisa harta.

            Kemudian, kami kembali meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan, kami melihat pohon-pohon besar yang terpancang di sepanjang jalan. Kata sopir jeep kami, pohon itu bernama Pohon Sobo. Pohon itu konon tumbuh sendiri, tidak ditanam manusia, namun ditanam oleh seorang jin wanita cantik berpakaian serba hijau, yang bernama Nyai Gandung Melati, setelah erupsi Merapi 5 November 2010. Jin itu juga yang mengabari kalau Merapi akan meletus, lewat mimpi orang yang prihatinnya tinggi.
 Dan sampailah kami di 3,5 KM dari puncak Gunung Merapi. Di situ, kami berhenti. Berjalan-jalan sambil berfoto-foto.
Eksis dulu, gaes! :D

 Di sebuah tempat sedikit tersembunyi, ada sebuah bangker—jalur darurat untuk penduduk bila Merapi mulai menunjukkan amarah. Namun ternyata, lahar panas Merapi berhasil menembus bangker, dan menyebabkan beberapa orang meninggal.

Bangker, jalan darurat yang digunakan penduduk bila Merapi mulai menunjukkan tanda-tanda akan meletus.

Perjalanan dilanjutkan. Kini, jeep mulai menuruni gunung. Masih dengan jalan yang terjal, kami mencoba mengikuti rute dengan hati yang bergejolak. Ikut oleng ke kanan ataupun ke kiri ketika jeep mulai mendapati jalan berkelok-kelok. 

Lihat, jalannya berliku-liku, kan? Mirip hidupku! #halah

            Di jalan pun kami masih melihat banyak Pohon Sobo yang tumbuh. Namun, tak jauh dari situ, juga ada Pohon Sobo yang telah dijadikan arang. Pohon itu dibakar dengan timbunan jerami, yang kemudian menjadi arang. Pantaslah sate Jogja itu enak, sebab arang yang dihasilkan dari Pohon Sobo itu tahan lama panasnya. Tak mudah dingin.
            Dengan jarak 5 KM dari puncak Merapi, kami kembali berhenti, guna melihat batu besar berbentuk seperti wajah manusia. Batu Alien namanya. Batu itu menggelinding dari kawah Merapi, menuruni lereng, dan berhenti di 5 KM dari puncak. Dan di bawah batu tersebut dulunya adalah kandang sapi yang sapinya langsung mati begitu batu itu menindihnya. Batu yang unik namun juga menakutkan.

            Batu alien, batu yang mirip dengan wajah manusia. Bisakah kalian melihat di mana letak mata, hidung, serta mulut batu itu?

            Ah, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Kembali pulang. Jeep semakin menuruni gunung. Dengan jarak 9 KM dari puncak Merapi, kami sudah bisa melihat beberapa rumah penduduk yang telah direnovasi, yang kata sopir jeep kami, dananya berasal dari pemerintah. Daerah sekitaran situ merupakan penghasil jamur. Banyak penduduk yang menjadi petani jamur di daerah yang sudah terlihat asri itu. Telah banyak pohon hijau terpancang di setiap sudut jalan.
            Jeep melalui jalan yang sama dengan keberangkatan kami tadi. Melewati jembatan yang di bawahnya dulu berisi air laut, namun sekarang menjadi pasir yang membentuk seperti kawah. Kawah pasir, begitulah kami menyebutnya.
* * *
            Jam 10.30, kami sampai di villa. Rasanya… huah! Sangat menyenangkan! Ini benar-benar petualangan yang menantang! Rasanya ingin kembali mengulanginya lagi!
            Dan aku pun memilih mandi.
            Jam 11.15, acara penutupan acara Kampus Fiksi Emas dibuka oleh Pak Edi. Ah, kenapa sudah harus penutupan?? Sedih rasanya. Namun, apa bisa dihindari? Bukankah setiap pertemuan itu selalu ada perpisahan?

            Ah, sudahlah. Ini bukan akhir dari segalanya! Kita pasti bisa bertemu kembali, kan, teman-teman? Ya, PASTI BISA!
            Aku bahagia. Sangat bahagia bisa bertemu dengan kalian, teman-teman. Mas Sayful, Mas Reza, Mas Adit, Mas Ersa, Mbak Pia, Mbak Lia, Mufi, Farrah, Evi, Mbak Elisa, Mbak Indah, Nadine, Mbak Nurul, Dhamala, Kak Ros, Mbak Ghyna, Fia, Mbak Didi, kalian sangat PANAS, SENSASIONAL, MENGGELITIK, dan FENOMENAL!! :D *aku pinjem kalimat andalanmu ya, Evi, hehe…
            Terima kasih, Pak Edi, Bunda May, serta semua kru DIVA Press. J
            Kami akan kembali lagi di kemudian hari. :)
* * * * *





Repost: Juni 2014

Kamis, 16 Februari 2017

[REVIEW] Garnish



Mencari Arti Kebahagiaan


Judul               : Garnish         
Penulis             : Mashdar Zainal
Penerbit           : de Teens
Cetakan           : 1, April 2016
Tebal               : 220 halaman
ISBN               : 978-602-391-126-4

            Pertemuan dua anak manusia yang awalnya saling tak mengenal. Buni, cowok yang suka memasak namun ditentang oleh mamanya. Serta Anin, cewek yang suka melukis, tapi dilarang oleh ayahnya. Mereka dipertemukan oleh takdir untuk mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
            Buni yang telah menjadi sarjana disuruh mamanya untuk melamar pekerjaan, namun tak ada yang tembus. Sedari awal ia memang tak berminat menjadi ekonom seperti papanya. Ia lebih menyukai dapur, dunia yang dicintainya. Pertengkaran Buni dengan mamanya adalah sesuatu yang biasa. Puncaknya, ketika Buni memasakkan nasi goreng sebagai kado untuk ulang tahun mamanya. Nasi goreng itu dibuang ke tong sampah oleh mamanya. Buni kabur dari rumah dengan melumuri tubuhnya dengan saus dan kecap karena merasa mamanya keterlaluan (hlm. 9-10)
            Sementara Anin, ia mempunyai bakat melukis, turunan dari ibunya yang telah meninggal. Ia merasa kesepian, meski ada Mimi dan suaminya, pembantu yang ada di rumahnya. Ayahnya sibuk dengan pekerjaannya sebagai pejabat. Beliau tinggal di rumah dinas bersama istri barunya. Anin menghilangkan kejenuhannya dengan melukis. Namun, Mimi melaporkan kegiatan baru Anin kepada ayahnya. Sang ayah segera saja melarang Anin, alasannya melukis itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seniman pengangguran, dan juga bisa mengotori rumah. Anin muak dengan peraturan-peraturan ayahnya yang membuatnya seperti robot. Akhirnya, ia menumpahkan cat aneka warna ke seluruh tubuhnya, dan kabur dari rumah (hlm. 17-18).
            Di taman kota, Buni dan Anin bertemu. Mereka tertawa dan akhirnya bercerita tentang alasan tubuh mereka kotor. Anin mengajak Buni ke sanggar lukis Bli Sutha. Ia meminta pada Bli Sutha untuk memperbolehkan ia dan Buni menginap di sanggar. Ia juga menceritakan kejadian yang menimpanya dan Buni kepada Bli Sutha.
            Esoknya, Bli Sutha memberi pengertian kepada Anin dan Buni bahwa kabur takkan menyelesaikan masalah. Ternyata Bli Sutha telah menelepon ayah Anin. Tak lama, ayah Anin datang menjemput Anin. Di rumah, Anin diberi penjelasan oleh ayahnya. Ayahnya melembut. Anin diijinkan untuk melakukan apa pun yang Anin inginkan, termasuk melukis. Anin boleh bebas, tapi tetap memiliki aturan (hlm. 50-51).
            Buni yang merasa tak enak dengan Bli Sutha karena takut merepotkan, memutuskan untuk pulang. Namun, mamanya tetap mencibir Buni yang belum mendapatkan pekerjaan yang ia inginkan. Ketika Buni menginjakkan kaki di dapur, mamanya kembali memarahinya. Untuk kedua kalinya, Buni kabur dari rumah karena merasa mamanya tak menginginkan ia berada di rumah (hlm. 69).
            Buni menghubungi Anin. Dengan senang hati Anin mengijinkan Buni untuk datang ke rumahnya. Buni memasak di rumah Anin, membuat martabak dan minuman cinnamon. Buni sudah seperti chef profesional.
            Anin punya ide. Ia ingin membuat sebuah kafe sekaligus galeri untuk memulai bisnis kecil-kecilan dengan Buni. Lokasi yang digunakan adalah rumah yang dulunya pernah dibeli ayah Anin untuk dijadikan kafe dan galeri tersebut. Mereka mulai merancang nama dan menu-menu yang akan disajikan untuk kafe dan galeri mereka. Tercetuslah nama untuk kafe dan galeri mereka, yaitu Garnish Cafe and Gallery. Garnish yang berarti hiasan, dan sebuah karya seni juga butuh garnis, butuh hiasan supaya elok dipandang mata. Mereka ingin membuktikan passion mereka (hlm. 127).
            Pertama dibuka, hanya sedikit pengunjung yang datang. Namun, lama-kelamaan semakin banyak pengunjung yang datang, meski hanya sekadar memesan cinnamon, menu minuman andalan Garnish, atau hanya untuk melihat-lihat lukisan.
Masalah mulai datang ketika mama Buni terserang stroke. Buni terpaksa meninggalkan Garnish dan Anin. Ia merawat mamanya sampai pulih. Mamanya minta maaf pada Buni karena telah memaksakan egonya. Belum lagi Anin yang mengalami kecelakaan. Tulang tangan kanan dan kakinya patah. Padahal ia akan mengikuti festival melukis. Buni memberi saran supaya Anin tidak perlu ikut, tapi Anin bersikeras ikut. Meski lukisannya tidak menang, namun ia akan terus melatih tangan kanannya supaya bisa pulih seperti semula dan bisa melukis lagi. Garnish pun kembali dibuka.
            Alur cerita novel ini menarik, karena diceritakan secara bergantian dengan sudut pandang orang pertama. Banyak pesan moral yang bisa dipetik dari novel ini. Salah satunya, yaitu: kebahagiaan yang sempurna tidak terletak pada mimpi-mimpi yang berhasil kau raih, tapi pada proses bagaimana kau meraihnya (hlm. 218). (*)