Sensasionalnya KF EMAS 2014
Kamis, 12 Juni 2014
KAMPUS FIKSI!!! PASTI
BISA!!!
Akhirnya, setelah berupaya sekuat
tenaga, aku bisa kembali menjadi peserta
event Kampus Fiksi yang mulai diselenggarakan dari tanggal 27 April
2013—Kampus Fiksi angkatan 1 yang juga menjadi awal keikutsertaanku dalam event ini. Aku masuk menjadi salah satu
nominator angkatan Kampus Fiksi Emas 2014! Dari 145 orang alumni Kampus Fiksi
angkatan 1-5, hanya dipilih 20 orang saja. Ini merupakan suatu kebanggaan
tersendiri untukku.
Acara akan dimulai mulai besok,
namun kami—para peserta—diharapkan sudah datang sehari sebelum acara. Dan aku
datang sekitar jam 18.00. Sudah cukup banyak yang datang di asrama. Pertama
yang kutemui adalah Nadine serta Mas Adit yang tengah duduk di dapur. Lalu di
ruang meeting, sudah ada Mas Reza,
Mbak Lia, Dhamala, Evi Sudarwanto, Mbak Ghyna, Farrah, Mbak Dian Iriana, serta
Asmira Fhea.
Hei,
tapi tunggu dulu, rasanya mataku mulai menipuku. Aku melihat Mbak
Didi—panggilan akrab Dian Iriana, ada dua! Tapi ternyata, yang satu adalah
Fia—Asmira Fhea—yang baru kusadari mirip Mbak Didi. Aku sempat loading sebentar saat menyalami Fia.
Haha, apakah hanya aku saja yang menganggap mereka mirip?
Tak lama setelah itu, datang Mufi,
kemudian disusul Mas Sayful, Mbak Nurul (Andari Hersoe), serta Kak Rosanti (aku
lebih suka menyebutnya Kak Ros, seperti panggilan dalam kartun Upin Ipin).
Ini di kamar cewek. Eksis dulu, ah!
:D
Dan
baru kuketahui, kalau Mbak Reni (Avanna Zahra) tidak bisa datang karena sakit.
Sayang sekali. L
Oiya, kami, peserta Kampus Fiksi
Emas, dibagikan souvenir cantik loh. Ada buku antologi Gadis 360 Hari yang
Lalu, kaos bersablonkan tulisan yang sama dengan judul buku, tas bertuliskan Kampus
Fiksi, pulpen, serta notes.
Buku antologi Gadis 360 Hari yang
Llau, kaos, tas, pulpen, dan notes.
Pak Edi, selaku rektor Kampus Fiksi
datang malam itu untuk sekadar berbincang-bincang ringan dengan kami. Dengan
Farrah yang masih menyantap empek-empek oleh-oleh dari Evi dan Nadine yang
berhasil digorengnya dengan lahap. Sepertinya Farrah sangat lapar.
Tak sabar rasanya menunggu hari
esok. Menunggu saat karya kami diadili oleh para mentor!
Jum’at, 13 Juni 2014
Antrian mandi yang panjang. Haha,
seharusnya takkan panjang kalau saja aku dan beberapa teman lainnya mandi lebih
awal. Ini sudah jam setengah tujuh, namun ada beberapa yang belum mandi,
termasuk aku! Karena sebelumnya, aku keasyikan mengobrol dengan Mbak Elisa dan
Mbak Indah yang baru datang pagi tadi sebelum subuh. Mbak Pia dan Mas Ersa yang
datang pagi tadi pun masih tepar di kasur MU dengan lelapnya.
Akhirnya, tiba giliranku untuk
mandi. Begitu selesai, lalu sarapan, kemudian sedikit bermain ABC lima
dasar—permainan konyol namun menarik. Kami tertawa-tawa saat mendapat tantangan
untuk melakukan hukuman akibat terlalu lama dalam menjawab. Dan aku, adalah
orang yang paling banyak terkena hukuman. Mulai dari disuruh menyanyi, ngrayu cowok, push up, sampai mencabut satu batang rambut milik teman. Haha,
adaaa saja hukumannya.
Jam 8.00 acara dimulai dengan sambutan
dari Pak Edi. Betapa bangganya beliau menjelaskan tentang bagaimana kami yang
telah berhasil terpilih menjadi peserta Kampus Fiksi Emas ini. Beliau
mengatakan—seperti yang disebutkan dalam buku antologi Gadis 360 Hari yang
Lalu, “Kalian semua adalah para alumni yang akan terus diikuti jejaknya oleh
alumni-alumni angkatan berikutnya. Kalian adalah kakak-kakak dari adik-adik
kalian nantinya. Terbanglah setinggi kalian bisa, tapi jangan lupa,
#KampusFiksi selalu terbuka jika kalian rindu bertemu kami dan lelah mengarungi
langit sana.”
Sebuah pengantar dari Pak Edi yang
membuat kami terharu.
Jam 9.00 kami praktek menulis cerpen
dengan tema yang berbeda-beda untuk setiap orang. Kami hanya diberi waktu
selama dua setengah jam!
Praktek menulis cerpen.
Jam 11.30 telah banyak yang telah
selesai menulis, begitu juga denganku. Setelah diserahkan kepada tim mentor,
kami boleh istirahat. Dan…. ternyata cerpen kami itu langsung di-posting di web Kampus Fiksi! Haha,
apakah cerpenku itu masih ada typo-nya?
Jangan salahkan, karena aku—mungkin juga teman-teman lain, menulis tanpa
diedit!
Para lelaki berangkat untuk Jumatan,
sedangkan para wanita (ciyeee, wanita!) ada yang makan siang, sholat, atapun
tidur. Ada pula yang deg-degan, karena setelah istirahat ini, karya cerpen
Kampus Fiksi Emas yang tertulis di buku antologi ini akan diadili. Seperti
pengadilan saja ya? Memang!
Jam 13.00, saatnya pengadilan karya.
Karya pertama yang diadili adalah
milik Mas Ersa, kemudian Mas Reza, lalu Mas Adit. Mbak Ita-lah yang seolah
menjadi hakim. Suasana memanas saat pernyataan-pernyataan Mbak Ita disangkal
oleh Mas Reza.
Dan semakin memanas saat giliran
cerpen Farrah, Dhamala, dan milikku diadili. Kali ini benar-benar panas! Bukan
karena kami banyak menyangkal, bukan pula karena cerpen kami yang terbaik, tapi
karena…. mati lampu! Ya, saat Mbak Misni selaku hakim akan mengadili cerpen
milik Farrah, tiba-tiba lampu mati. Waaahh, udah deh, langsung buka pintu,
gorden, dan jendela. Lampu-lampu emergency
pun dihidupkan. Tapi, bukannya sejuk yang kami dapatkan karena pintu yang
dibuka—karena ruangannya ber-AC—namun malah gerah, dan lampu itulah
penyebabnya. Akhirnya, kami selaku tersangka (aduh, tersangka maling ayam kali
ya? LOL!) kembali diadili tanpa mempedulikan lampu yang mati.
Pengadilan karya masih berlanjut
dengan hakim yaitu Mbak Ve, yang mengadili cerpen milik Mbak Lia, Mbak Nurul,
dan Mbak Elisa. Dan masih dengan listrik yang belum menyala. Namun tak begitu
panas seperti tadi, karena Mbak Ve mengadilinya dengan ekspresi wajah dan
tingkah laku yang sangat konyol. Cukup berlebihan, namun tetap… absurd! Hahaaa, Mbak Ve, aku juga mau
diadili kalau seperti itu gayanya. :D
Jam 16.15 kami ishoma. Seharusnya
sih, ishoma jam 16.00, tapi karena Mbak Ve terlalu menggebu, jadilah kami
terlambat lima belas menit. Tak apa, Mbak Ve, kami senang kok, karena listrik
sudah menyala kembali. Alhamdulillah…
Setelah semuanya siap, jam 19.00
kembali karya kami diadili. Mbak Rina dengan gayanya yang keren mengadili karya
milik Mbak Ghyna, Kak Ros, Fia, dan Mbak Pia. Suasana menegang saat itu, karena
Mbak Rina terlihat serius.
Suasana mencair saat giliran Mbak
Ayun yang mengisi. Karya Evi, Mbak Didi, dan Nadine sudah siap untuk diadili.
Dan… sebagai penutup hari itu, Pak
Edi memberikan peradilan terhadap karya Mufi, Mbak Indah, dan Mas Sayful. Pak
Edi lain daripada yang lain. Beliau tak hanya mengkritik, namun juga memberi
saran terhadap karya diadilinya.
Jam 22.15, selesailah acara di hari
pertama Kampus Fiksi Emas. Kami beristirahat, menyiapkan diri untuk besok
Sabtu. Ada yang langsung tidur, ada pula yang sibuk mendiskusikan yel-yel dan performance yang akan kami tampilkan
besok.
Sabtu, 14 Juni 2014
Pagi ini, kami harus mengikuti
pembedahan novel Sang Alkemis-Paulo Ceolho yang mendatangkan seorang akademis
UGM bernama Tia Setiadi sebagai pembedah.
Aku tak ingin terlalu banyak
mengulas tentangnya, oke?
Aku
hanya menyukai caranya bercerita, runut dan semangatnya itu membuat
kami—terutama aku—ikut bersemangat. Begitu rinci dia menjelaskan tentang isi
novel itu. Tentang bahasanya, tokoh, setting,
latar, dan lain sebagainya.
Namun,
ada satu yang aku tidak setuju pada pendapatnya. Dia berkata kalau seorang
penulis itu sebaiknya menulis dengan latar setting
yang seharusnya dikuasai, supaya penulis bisa mendeskripsikan tempat dengan
begitu baik. Dikatakannya juga bahwa seorang penulis yang tinggal di dekat
laut, sebaiknya menulis dengan latar di laut. Begitu juga bila tinggal di
gunung, pedesaan, ataupun perkotaan. Karena kalau tidak, pastilah penulis itu
mengada-ada, begitu ungkapnya.
Tapi,
bukankah seorang penulis itu bisa mendeskripsikan latar tempat tanpa harus tinggal
di tempat itu? Tak harus pula penulis itu harus datang ke tempat itu. Bukankah
sudah ada fasilitas internet? Kita bisa riset lewat google, bukan?
Sudah,
itu saja yang ingin kuulas tentangnya. Karena… jam 12.30 kita akan ke
Kaliurang! Yeay!!
Kami
membereskan perlengkapan yang akan kami bawa ke Kaliurang, sebuah desa wisata
yang sejuk. Kami akan menginap di villa!
Jengg!!
Jengg!!! Jam 12.30, saatnya berangkat!!
*
* *
Perjalanan menuju Kaliurang
membutuhkan waktu yang lumayan, 45 menit. Dengan tiga mobil yang mengangkut
kami—para peserta, serta satu mobil box yang mengangkut tas-tas kami, akhirnya
sampai juga di sana.
Dan, hey, kalian tahu, apa yang kami lakukan begitu sampai villa??
Main ayunan dulu sebelum masuk
villa. :D
Beberapa bukannya masuk villa, tapi
malah bermain ayunan! Mengayunkannya tinggi-tinggi, sampai rasa bosan mendera.
Haha, kurasa masa kecil kami kurang berbahagia! Tapi, ini benar-benar seru.
Sangat!
Setelah lelah, barulah aku masuk
villa. Mencari teman satu kelompok untuk kembali mendiskusikan performance untuk nanti malam.
Kelompokku itu terdiri dari Mufi,
Mbak Nurul, Mbak Pia, Mas Adit, dan tentu saja, aku sendiri. Heboh sekali kami
mempraktekkan yel-yel serta performance untuk
nanti malam.
Ah,
rasanya sudah tak sabar menanti nanti malam.
*
* *
Sebelum memulai gathering, kami sholat Maghrib dan Isya berjamaah dengan diimami
oleh Pak Edi. Makan malam pun bersama Pak Edi sekeluarga serta para panitia.
Sangat terasa rasa kekeluargaan yang mendalam. Semua berbaur, tanpa membedakan
siapa dan dari mana kami berasal.
Karena
kelompokku adalah kelompok 3, jadilah kami menonton aksi dari dua kelompok di
depan kami. Sepanjang acara, suara tawa membahana memenuhi ruangan villa. Rasa
geli menggelitik kami saat menyaksikan performance
yang ditunjukkan tiap kelompok.
Dan
saat kelompokku perform pun, aku,
Mufi, Mbak Pia, dan Mbak Nurul tak sanggup menahan tawa saat melihat Mas Adit berpenampilan
seperti setan dengan mukena yang menutupi seluruh tubuhnya dan berakting
seperti setan konyol.
Belum
lagi dengan kelompoknya Mas Sayful, yang terdiri dari Evi, Mbak Ghyna, Fia,
Mbak Didi, dan dia sendiri. Mereka menceritakan tentang diary si kembar, yang diperankan oleh Fia dan Mbak Didi. Nah, kan!
Berarti bukan aku saja yang menganggap mereka mirip! Dan Evi, yang menjadi host acara talkshow itu pun berubah. Dia menjadi panaaass, sensasional,
menggelitik, dan fenomenal! Hahahaaa, tawa kami pecah setiap kali Evi
mengucapkan kalimat andalannya: panas, sensasional, menggelitik, dan fenomenal.
Taraaa!!!
Performance dari peserta selesai, dan
saatnya penampilan dari panitia! Mas Wahyu, Mbak Ayun, Mbak Ve, Mbak Rina, Mbak
Misni pun beraksi! Kereeen deh penampilan mereka!
.
Setelah
performance habis sudah, Pak Edi
memberikan penghargaan kepada pemenang cerpen Kampus Fiksi Emas, yaitu Mas
Sayful. Selain mendapat uang—tapi masih dalam bentuk tulisan—Mas Sayful
mendapatkan piagam! Wow! Selamat, Mas Sayful!
Dan….
tarakdungces! *eh* Ada penghargaan spesial kepada peserta militan yang selalu
datang saat Kampus Fiksi! Ini kejutan! Mas Reza-lah yang mendapatkan penghargaan
itu. Selamaaatt! :D
Uwaaa!!
Begitu pemberian penghargaan, kami keluar ruangan. Kami mau membakar jagung!
Dan api unggun mulai dihidupkan! Kita pesta!!
Api
unggun telah menyala!
Sambil
menanti jagung bakar matang, kami bermain Truth
or Dare yang diselipkan di setiap kado silang yang memang kami bawa untuk
saling ditukarkan.
Setiap
pertanyaan ataupun tantangannya pun beragam. Mulai dari hal serius, sampai hal
konyol sekalipun. Ada yang disuruh nyanyi sambil goyang itik, ada yang lebih
memilih menceritakan pengalaman pahitnya saat jatuh cinta daripada menyatakan
cintanya pada salah satu panitia, ada pula yang disuruh mengatakan ‘I LOVE YOU’ pada Pak Edi! Hahaha….
Sungguh malam yang sangat menyenangkan! Dengan bulan purnama dan jagung bakar
yang nikmat, kami menikmati malam yang tersisa. Bermain ayunan, menyanyi
bersama… ah, rasanya, enggan menyebut esok adalah hari terakhir kami bisa
seperti ini.
Mereka
yang bernyanyi bersama setelah api unggun telah padam.
Minggu, 14 Juni 2014
Pagiii, Kaliurang!
Dingin nan sejuk menyapa kulit kami
ketika bangun di pagi hari. Masih jam 5.15. Kurasa, aku adalah peserta yang
bangun pertama kali—jangan tanya kalau panitia, mereka sudah bangun lebih dulu.
Air dingin di bak mandi membuatku
enggan untuk mandi. Hehe, karena kami mau outbond,
aku memilih untuk mandi nanti setelah outbond.
Aku hanya membersihkan muka dan gigi, tanpa mandi. Dan ternyataaa, banyak juga
yang tidak mandi. Hahaha…
Sebelum kami berangkat untuk outbond, kami sarapan terlebih dulu.
Dan… SIAP! Kami telah siap melakukan
outbond!
Dengan rute yang seperti naik-naik
ke puncak gunung, kami berjalan kaki menuju tempat yang aku sendiri tak tahu
namanya. #keplakdirisendiri
Cukup lelah kami berjalan, sedikit
berkeringat juga. Namun, tetap… menyenangkan! Karena sepanjang jalan kami
bercanda, tertawa, melihat landskap indah
di sana-sini dengan udara yang begitu segar.
Sampai di dekat seperti hutan pinus
itu kami berhenti. Mengistirahatkan badan. Dan ternyataaa…. Sebentar lagi kami
naik jeep! Kami akan melakukan ekspedisi rahasia!
Jeep
sudah berjejer, siap membawa kami bertualang.
Satu jeep dinaiki lima orang,
termasuk sopir. Betapa hebohnya kami. Bukan heboh karena baru pertama kali naik
jeep, bukan. Tapi, heboh bereksis ria. Jepret sana, jepret sini.
Dan… perjalanan kami dimulai! Kami
melewati berbagai kelokan dengan jalanan yang tidak rata. Banyak batu-batu
besar menghalangi jalan. Jalanan begitu terjal, memacu adrenalin kami. Kami
naik ke gunung! Yaa, Gunung Merapi.
Tempat pertama yang kami tuju adalah
Museum Sisa Hartaku. Di sana adalah sebuah rumah milik seorang penduduk yang
terkena awan panas Gunung Merapi 5 November 2010.
Di pintu masuk Museum Sisa Hartaku.
Pesan Merapi.
Kerangka sapi yang tersisa.'
Peralatan masak yang tersisa.
Alat musik yang tersisa.
Sisa-sisa harta.
Kemudian, kami kembali meneruskan
perjalanan. Sepanjang jalan, kami melihat pohon-pohon besar yang terpancang di
sepanjang jalan. Kata sopir jeep kami, pohon itu bernama Pohon Sobo. Pohon itu
konon tumbuh sendiri, tidak ditanam manusia, namun ditanam oleh seorang jin
wanita cantik berpakaian serba hijau, yang bernama Nyai Gandung Melati, setelah
erupsi Merapi 5 November 2010. Jin itu juga yang mengabari kalau Merapi akan
meletus, lewat mimpi orang yang prihatinnya tinggi.
Dan
sampailah kami di 3,5 KM dari puncak Gunung Merapi. Di situ, kami berhenti.
Berjalan-jalan sambil berfoto-foto.
Eksis
dulu, gaes! :D
Di sebuah tempat sedikit tersembunyi, ada
sebuah bangker—jalur darurat untuk
penduduk bila Merapi mulai menunjukkan amarah. Namun ternyata, lahar panas
Merapi berhasil menembus bangker, dan
menyebabkan beberapa orang meninggal.
Bangker, jalan
darurat yang digunakan penduduk bila Merapi mulai menunjukkan tanda-tanda akan
meletus.
Perjalanan
dilanjutkan. Kini, jeep mulai menuruni gunung. Masih dengan jalan yang terjal,
kami mencoba mengikuti rute dengan hati yang bergejolak. Ikut oleng ke kanan
ataupun ke kiri ketika jeep mulai mendapati jalan berkelok-kelok.
Lihat,
jalannya berliku-liku, kan? Mirip hidupku! #halah
Di jalan pun kami masih melihat
banyak Pohon Sobo yang tumbuh. Namun, tak jauh dari situ, juga ada Pohon Sobo
yang telah dijadikan arang. Pohon itu dibakar dengan timbunan jerami, yang
kemudian menjadi arang. Pantaslah sate Jogja itu enak, sebab arang yang
dihasilkan dari Pohon Sobo itu tahan lama panasnya. Tak mudah dingin.
Dengan jarak 5 KM dari puncak
Merapi, kami kembali berhenti, guna melihat batu besar berbentuk seperti wajah
manusia. Batu Alien namanya. Batu itu menggelinding dari kawah Merapi, menuruni
lereng, dan berhenti di 5 KM dari puncak. Dan di bawah batu tersebut dulunya
adalah kandang sapi yang sapinya langsung mati begitu batu itu menindihnya. Batu
yang unik namun juga menakutkan.
Batu alien, batu yang mirip dengan
wajah manusia. Bisakah kalian melihat di mana letak mata, hidung, serta mulut
batu itu?
Ah, akhirnya kami kembali
melanjutkan perjalanan. Kembali pulang. Jeep semakin menuruni gunung. Dengan
jarak 9 KM dari puncak Merapi, kami sudah bisa melihat beberapa rumah penduduk
yang telah direnovasi, yang kata sopir jeep kami, dananya berasal dari
pemerintah. Daerah sekitaran situ merupakan penghasil jamur. Banyak penduduk
yang menjadi petani jamur di daerah yang sudah terlihat asri itu. Telah banyak
pohon hijau terpancang di setiap sudut jalan.
Jeep melalui jalan yang sama dengan
keberangkatan kami tadi. Melewati jembatan yang di bawahnya dulu berisi air
laut, namun sekarang menjadi pasir yang membentuk seperti kawah. Kawah pasir,
begitulah kami menyebutnya.
*
* *
Jam 10.30, kami sampai di villa.
Rasanya… huah! Sangat menyenangkan! Ini benar-benar petualangan yang menantang!
Rasanya ingin kembali mengulanginya lagi!
Dan aku pun memilih mandi.
Jam 11.15, acara penutupan acara
Kampus Fiksi Emas dibuka oleh Pak Edi. Ah, kenapa sudah harus penutupan?? Sedih
rasanya. Namun, apa bisa dihindari? Bukankah setiap pertemuan itu selalu ada
perpisahan?
Ah, sudahlah. Ini bukan akhir dari
segalanya! Kita pasti bisa bertemu kembali, kan, teman-teman? Ya, PASTI BISA!
Aku bahagia. Sangat bahagia bisa
bertemu dengan kalian, teman-teman. Mas Sayful, Mas Reza, Mas Adit, Mas Ersa,
Mbak Pia, Mbak Lia, Mufi, Farrah, Evi, Mbak Elisa, Mbak Indah, Nadine, Mbak
Nurul, Dhamala, Kak Ros, Mbak Ghyna, Fia, Mbak Didi, kalian sangat PANAS,
SENSASIONAL, MENGGELITIK, dan FENOMENAL!! :D *aku pinjem kalimat andalanmu ya,
Evi, hehe…
Terima kasih, Pak Edi, Bunda May,
serta semua kru DIVA Press. J
Kami akan kembali lagi di kemudian
hari. :)
*
* * * *
Repost: Juni 2014


Tidak ada komentar:
Posting Komentar